Secara luas Inflasi dapat dikatakan sebagai kenaikan harga yang terus
menerus sehingga mengakibatkan daya beli dari masyarakat pun menjadi
menurun, hal ini disebabkan karena Jumlah uang yang ada di tangan
masyarakat tidak sebanding dengan tingkat kenaikan harga yang terjadi.
Dalam berbagai litelatur-litalatur dapat ditemukan bahwa pengertian
Inflasi adalah :
“Inflasi merupakan Salah satu peristiwa moneter yang menunjukkan
suatu kecenderungan akan naiknya harga barang-barang secara umum. Yang
berarti terjadinya penurunan nilai uang”.
(Rimsky K. Judisseno, 2002;16)
Dari pengertian tersebut jelas terungkap bahwa dengan kenaikan
harga-harga / Inflasi dapat mengakibatkan nilai uang yang ada menjadi
turun (devaluasi), sehingga berdampak pada tingkat konsumsi masyarakat.
Selain pengertian dari Rimsky tersebut diketahui juga bahwa pengertian
dari Inflasi menurut seorang ekonom terkenal di Indonesia, yang
menyebutkan bahwa
“Inflasi adalah suatu proses kenaikan harga-harga yang berlaku dalam suatu perekonomian”.
(Sadono Sukirno, 2002;15)
Dalam bukunya yang berjudul makroekonomi tersebut, Sadono Sukirno
menyebutkan dengan singkat dan jelas bahwa yang disebut dengan Inflasi
adalah suatu proses kenaikan harga-harga.
Sedangkan menurut Gerald J. Thuesen dan W.J. Fabrycky yang dikutip dalam
buku Analisis Investasi dalam perspektif Ekonomi dan Politik
menyebutkan bahwa
“Inflasi adalah keadaan yang menggambarkan perubahan tingkat harga dalam sebuah perekonomian”.
(Irham Fahmi, 2006;79)
Dan pengertian lain tentang Inflasi juga ditemukan dalam sebuah buku
yang berjudul Teori Ekonomi Makro karangan Dwi Eko Waluyo pada tahun
2002 yang menyebutkan bahwa
“Inflasi adalah Salah satu bentuk penyakit ekonomi yang sering muncul
dan dialami oleh semua negara, kecenderungan kenaikan harga-harga umum
secara terus menerus”.
Pengertian-pengertian tersebut sangatlah sejalan dengan pengertian
Inflasi yang disebutkan pula oleh Bank Indonesia, BI mendefinisikan
Inflasi sebagai berikut
“Inflasi adalah kecenderungan harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
Dari pengertian Bank Indonesia tersebut, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidaklah bisa
dikatakan sebagai Inflasi kecuali bila kenaikan tersebut meluas (atau
mengakibatkan kenaikan terhadap barang-barang lainnya.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, terdapat kesamaan persepsi
mengenai Inflasi, bahwa yang disebut dengan inflasi adalah suatu
kenaikan harga-harga yang terjadi secara umum, artinya terjadi pada
semua jenis barang dan juga terjadi secara meluas, yang berarti bahwa
kenaikan harga-harga tersebut tidak hanya terjadi di suatu daerah saja,
tetapi berdampak pada seluruh daerah yang ada di wilayah negara.
A. Jenis-Jenis Inflasi.
1. Ditinjau Dari Parah Tidaknya suatu Inflasi.
Apabila dilihat dari skala parah atau tidaknya Inflasi tersebut, maka dapat dilihat sebagai berikut :
1. Inflasi ringan dengan skala Inflasi sebesar < 10 persen / tahun.
2. Inflasi sedang dengan skala Inflasi sebesar 10 – 30 persen / tahun.
3. Inflasi berat dengan skala Inflasi sebesar 30 – 100 persen / tahun.
4. Hiperinflasi dengan skala Inflasi sebesar > 100 persen / tahun.
(Dwi Eko Waluyo, 2003 ; 122)
2. Ditinjau dari Asal Inflasi.
Dilihat dari asal Inflasi maka dapat diketahui bahwa Inflasi tersebut
berasal dari dalam negeri dan juga berasal dari luar negeri atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Impoted Inflation. Inflasi yang berasal
dari dalam negeri atau disebut Domestic Inflation adalah
“Inflasi yang terjadi karena kenaikan harga akibat adanya kondisi
“shock” (kejutan) dari dalam negeri baik karena perilaku masyarakat
maupun pemerintah yang mengakibatkan kenaikan harga”.
(Dwi Eko Waluyo, 2003;125)
Sedangkan untuk Inflasi yang berasal dari luar negeri atau yang disebut
dengan Imported Inflation merupakan suatu kenaikan harga yang
diakibatkan karena kenaikan harga-harga dari barang-barang yang diimpor,
sehingga akan mengakibatkan tekanan terhadap harga dalam negeri.
3. Sebab-Sebab Terjadinya inflasi.
Berdasarkan beberapa buku yang membahas mengenai ekonomi makro
menyebutkan bahwa Inflasi bisa terjadi karena beberapa sebab, diataranya
adalah sebagaimana ayang disebutkan dalam buku karangan Sadono Sukirno.
Penyebab Inflasi :
1. Inflasi tarikan permintaan.
2. Inflasi desakan biaya.
3. Inflasi diimpor
(Sadono Sukirno, 2004 ; 333)
1. Inflasi Tarikan Permintaan.
“Inflasi ini terjadi pada masa perekonomian berkembang dengan pesat.
Kesempatan kerja yang tinggi menciptakan tingkat pendapatan yang tinggi
dan selanjutnya menimbulkan pengeluaran yang yang melebihi kemampuan
ekonomi mengeluarkan barang dan jasa sehingga menimbulkan Inflasi”.
(Sadono Sukirno, 2004;333)

Gambar Inflasi Tarikan Permintaan
Kurva AS adalah penawaran agregat dalam ekonomi, sedangkan AD1, AD2 dan
AD3 adalah permintaan agregat. Misalkan pada mulanya permintaan agregat
adalah AD1, maka pendapatan nasional adalah Y1 dan tingkat harga adalah
P1. Perekonomian yang berkembang pesat mendorong kepada kenaikan
permintaan agregat. Yaitu menjadi AD2. Akibatnya pendapatan nasional
mencapai tingkat kesempatan kerja penuh, yaitu YF dan tingkat harga naik
dari P1 ke PF. Ini berarti inflasi telah wujud. Apabila masyarakat
masih tetap menambah pengeluarannya maka permintaan agregat menjadi AD3.
Untuk memenuhi permintaan yang semakin bertambah tersebut,
perusahaan-perusahaan akan menambah produksinyadan menyebabkan
pendapatan nasional riil meningkat dari YF menjadi Y2. Kenaikan produksi
nasional melebihi kesempatan kerja penuh akan menyebabkan kenaikan
harga yang lebih cepat, yaitu dari P1 ke P2.
2. Inflasi Desakan Biaya.
Inflasi desakan biaya terjadi dalam masa perekonomian berkembang dengan pesat ketika tingkat pengangguran adalah sangat rendah.
(Sadono Sukirno, 2004; 334)
.png)
Gambar Inflasi Desakan Biaya
Kurva AS1, AS2 dan AS3 merupakan kurva penawaran agregat, sedangkan
kurva AD adlah permintaan agregat. Andaikan pada mulanya kurva penawaran
agregat adalah AS1. Dengan demikian pada mulanya keseimbangan ekonomi
negara tercapai pada pendapatan nasional Y1, yaitu pendapatan nasional
pada kesempatan kerja penuh, dan tingkat harga adalah pada P1. Pada
tingkat kesempatan kerja yang tinggi perusahaan-perusahaan sangat
memerlukan tenaga kerja. Keadaan ini cenderung mengakibatkan kenaikan
upah dan gaji karena :
1. Perusahaan akan berusaha mencegah perpindahan tenaga kerja dengan menaikkan upah dan gaji.
2. Usaha untuk memperoleh pekerja tambahan hanya akan berhasil apabila perusahaan menawarkan upah dan gaji yang lebih tinggi.
Kenaikan upah akan menaikan biaya, dan kenaikan biaya akan memindahkan
fungsi penawaran agregat ke atas, yaitu dari AS1 ke AS2. Sebagai
akibatnya tingkat harga naik dari P1 menjadi P2. Harga barang yang
tinggi ini mendorong para pekerja menuntut kenaikan upah lagi, maka
biaya produksi akan semakin tinggi. Pada akhirnya ini akan menyebabkan
kurva penawaran agregat bergeser dari AS2 menjadi AS3. Perpindahan ini
menaikan harga dari P2 ke P3. Dalam proses kenaikan harga yang
disebabkan oleh kenaikan upah dan kenaikan penawaran agregat ini
pendapatan nasional riil terus mengalami penurunan, yaitu dari YF atau
Y1 menjadi Y2 dan Y3. Berarti akibat dari kenaikan upah tersebut
kegiatan ekonomi akan menurun dibawah tingkat kesempatan kerja penuh.
Dalam kurva diatas diandaikan kenaikan upah tidak menyebabkan kenaikan
dalam permintaan agregat. Dalam prakteknya, kenaikan upah mungkin juga
diikuti oleh kenaikan dalam permintaan agregat riil. Apabila keadaan ini
berlaku, kenaikan harga akan menjadi semakin cepat dan kesempatan kerja
tidak mengalami penurunan. Andaikan setelah AS1 menjadi AS2, permintaan
agregat AD berubah menjadi AD1. Akibar dari perubahan ini kesempatan
kerja penuh tertap terpakai, tetapi tingkat harga lebih tinggi dari P2.
Apabila proses kenaikan upah baru berlaku, penawaran agregat akan
bergerak dari AS2 ke AS3. Sekiranya ini diikuti pula oleh kenaikan
permintaan agregat menjadi AD2 maka tingkat kesempatan kerja penuh masih
tetap tercapai, tetapi harga-harga akan mencapai tingkat yang lebih
tinggi dari P3 yaitu P4.
3. Inflasi Diimpor.
Inflasi yang diimpor atau Imported Inflation merupakan kenaikan harga
yang sangat dipengaruhi oleh tingkat harga-harga yang terjadi pada
barang-barang yang diimpor, sehingga kenaikan harga barang-barang
tersebut akan sangat berdampak terhadap kenaikan harga barang-barang di
dalam negeri. Salah satu contoh yang pernah terjadi yaitu kenaikan harga
minyak dunia pada tahun 1970an yang mengakibatkan kenaikan biaya
produksi, dan kenaikan biaya produksi mengakibatkan kenaikan
harga-harga. Kenaikan harga minyak yang tinggi tersebut (dari US$ 3.00
pada tahun 1973 menjadi US$ 12.00 pada tahun 1974) menyebabkan masalah
stagflasi.
“Stagflasi yaitu menggambarkan keadaan dimana kegiatan ekonomi
semakin menurun, pengangguran semakin tinggi dan pada waktu yang sama
proses kenaikan harga-harga semakin bertambah cepat”.
(Sadono Sukirno, 2004;336)
.png)
Gambar Inflasi Diimpor
Permintaan agregat dalam ekonomi adalah AD sedangkan pada mulanya
penawaran agregat ada AS1. Dengan demikian pada mulanya pendapatan
nasional adalah Y1. Gambar diatas menunjukkan pendapatan ini dicapai di
bawah pendapatan pada kesempatan kerja penuh (YF) maka jumlah
pengangguran adalah tinggi. Kenaikan harga barang impor yang penting
artinya di berbagai industri mengakibatkan biaya produksi naik, dan ini
seterusnya akan mengakibatkan perpindahan kurva penawaran agregat dari
AS1 menjadi AS2. Pendapatan menurun dari Y1 kepada Y2 sedangkan tingkat
harga naik dari P1 menjadi P2. Ini berarti secara serentak perekonomian
menghadapi masalah inflasi dan pengangguran yang lebih buruk. Ahli-ahli
ekonomi menamakan ini dnegan sebutan Stagflasi, yaitu merupakan akronim
dari Stagnasi dan Inflasi.
Apabila suatu perusahaan masih mengalami permintaan yang bertambah, maka
perusahaan akan berusaha untuk menaikkan produksinya denganc ara
memberikan upah yang lebih tinggi kepada pekerjanya dan mencari pekerja
yang baru, dengan tawaran pembayaran yang lebih tinggi ini mengakibatkan
biaya produksi meningkat yang akhirnya menyebabkan kenaikan harga-harga
berbagai barang-barang.
Sedangkan berdasarkan Bank Indonesia dalam Kerangka Kebijakan Moneter Yang Baru disebutkan bahwa
“Inflasi terjadi dikarenakan adanya tekanan dari sisi supply (cost
push Inflation), dari sisi permintaan (demand pull Inflation), dan juga
dari ekspektasi Inflasi”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
“Cost push Inflation atau Inflasi yang berasal dari sisi penawaran
dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri
terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi
yang diatur pemerintah (administered prices), dan terjadi negative
supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya jalur distribusi”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
Untuk inflasi yang terjadi dari sisi penawaran ini, biasanya tidak bisa
langsung “tersentuh” oleh kebijakan moneter Bank Indonesia. Hal ini
disebabkan karena sisi penawaran dipengaruhi oleh faktor-faktor luar
yang tidak bisa dikendalikan oleh Bank Indonesia.
“Demand pull Inflation atau inflasi yang berasal dari sisi permintaan
adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap
ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan
oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total
(agregat demand) lebih besar daripada kapasitas perekonomian”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
Inflasi yang berasal dari sisi permintaan ini bisa dikendalikan oleh
kebijakan Bank Indonesia, dengan cara mengendalikan tingkat permintaan
atas suatu barang dengan menggunakan instrumen kebijakan moneter, dan
diantaranya adalah denganjalur suku bunga atau BI Rate.
Yang terakhir faktor penyebab inflasi menurut Bank indonesia adalah karena adanya ekspektasi Inflasi,
“Ekspektasi Inflasi adalah Inflasi yang timbul karena perilaku
masyarakat dan perilaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif
atau forward looking”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Taegting Framework)
Ekspektasi Inflasi ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di
tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari
besar keagamaan (lebaran, natal dan tahun baru) dan penentuan Upah
Minimum Regional (UMR).
Pengukuran Tingkat Inflasi.
Banyak cara yang digunakan untuk mengukur tingkat Inflasi, diantaranya adalah dengan menggunakan :
1. General Price
2. Angka Deflator Produk Nasional Bruto.
3. IHK (Indeks Harga Konsumen).
4. Atas Harga Yang Hiharapkan
5. Indeks Harga Dalam Negeri dan Luar Negeri.
(Dwi Eko Waluyo, 2003; 120-122)
Pengukuran Dengan Menggunakan General Price.
Cara umum yang dipakai untuk menghitung Inflasi adalah dengan
angka-angka harga umum (general price). Dengan formulasi sebagai berikut
:
.png)
LIt = Laju Inflasi pada tahun t
Namun demikian dalam banyak penelitian empiris, khususnya di negara
berkembang pengamat ekonomi sering dihadapkan pada suatu kesulitan untuk
mendapatkan angka-angka harga umum. Berbagai cara untuk mendapat
taksiran harga umum dan laju inflasi telah banyak dicoba, walaupun
kadang-kadang antara penafsiran yang satu dengan yang lain menghasilkan
angka dan pengaruh yang berbeda.
Cara Penghitungan dengan menggunakan Angka Deflator Produk Nasional Bruto (GNP Deflator).
Cara ini menggunakan formulasi sebagai berikut :
.png)
AD = Angka Deflator PNB
Yb = PNB menurut harga berlaku.
Yk = PNB menurut harga konsumen.
Kemudian untuk menghitung laju inflasinya ada dengan menggunakan formulasi sebagai berikut :
.png)
LIt = Laju Inflasi pada periode t.
ADt = Angka Deflator PNB pada periode t.
ADt-1 = Angka Deflator PNB periode t-1.
Kelemahan dari cara ini adalah sulitnya diperoleh angka deflator PNB
bulanan, triwulanan, semesteran. Sehingga kita hanya mempunyai angka
deflator dan laju Inflasi tahunan.
Cara Perhitungan Dengan Indeks Harga Konsumen.
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan dalam
menghitung Inflasi. Hal ini disebabkan data Indeks Harga Konsumen dapat
diperoleh dalam bentuk bulanan, triwulanan ataupun tahunan. Untuk
Indonesia data IHK cukup mudah diperoleh baik dari laporan BPS, BI atau
lembaga lainnya.
Model dari Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah sebagai berikut :
.png)
LIt = Laju Inflasi pada periode t.
IHKt = Indeks Harga Konsumen periode t.
IHKt-1 = Indeks Harga Konsumen periode t-1
Cara Perhitungan Berdasarkan Atas Harga Yang Diharapkan.
Cara ini menitik beratkan pada perhitungan harga dan laju Inflasi pada
periode yang berlaku, dan yang ditonjolkan adalah peranan harga yang
diharapkan pada periode yang akan datang.
Untuk menghitungnya adalah dengan rumus berikut :
.png)
= Laju inflasi yang diharapkan pada tahun t.
= Atas Harga Pengharapan pada tahun t + 1.
Ht = Atas harga yang berlaku pada tahun t.
Gurley telah mencoba menghitung harga pengharapan dengan laju Inflasi di
Indonesia. Masalah yang dihadapi dalam penentuan atas harga pengharapan
adalah kesulitan untuk mengamati perilaku masyarakat dan pemerintah
dalam perekonomian.
Cara Perhitungan Dengan Indeks Harga Dalam Negeri dan Luar Negeri.
Rumus yang digunakan adalah :
IHU = a IHDN + (1-a) IHLN
IHU = Indeks Harga Umum.
IHDN = Indeks Harga Dalam Negeri
IHLN = Indeks Harga Luar Negeri.
a = Besarnya sumbangan pengaruh Indeks harga dalam negeri terhadap indeks harga umum.
Kesulitan yang dihadapi dalam hal ini adalah menentukan Indeks Harga
Dalam Negeri dan proporsinya terhadap Indeks Harga Umum. Sejauh ini
biayasanya Indeks Harga Ekspor dipakai sebagai pendekatan terhadap
Indeks Harga Luar Negeri, akan tetapi kitapun tidak mengetahui
proporsinya terhadap Indeks Harga Umum.
Pengaruh Tingkat Suku Bunga Terhadap Tingkat Inflasi.
Dalam mengatasi masalah ekonomi terutama yang berkaitan dengan masalah
Inflasi, biasanya digunakan kebijakan fiskal dan juga kebijakan moneter.
Tetapi dalam menghadapi masalah Inflasi, kebijakan moneter selalu
menjadi instrumen yang paling berperan dalam pengendalian Inflasi. Dan
salah satu instrumen moneter yang digunakan adalah melalui kebijakan
Jalur Suku Bunga yang dikeluarkan oleh Bank sentral atau di Indonesia
dikenal dengan nama BI Rate. Sebagaimana yang disebutkan dalam teori
bahwa
“Untuk mengatasi masalah Inflasi, tindakan yang perlu dijalankan Bank
sentral adalah mengurangi penawaran uang dan menaikkan suku bunga”.
(Sadono Sukirno, 2004 ; 349)
Suku bunga memang sangat memegang peranan penting sekali dengan
pengendalian Inflasi, hal ini disebabkan karena Inflasi biasanya
disebabkan karena tingkat konsumsi masyarakat yang cenderung lebih
konsumtif terutama pada saat-saat tertentu, misalnya Libur nasional
seperti Lebaran, Natal dan Tahun baru. Pada saat itu sering terjadi
kenaikan terhadap barang dan jasa yang diakibatkan karena Tingkat
permintaan barang dan jasa melebihi tingkat penawaran barang dan jasa
tersebut.
“Kenaikan suku bunga dapat menguatkan nilai tukar melalui peningkatan
(positive) interest rate differential. Demikian juga Bank Indonesia
dapat mempengaruhi ekspektasi masyarakat melalui kebijakan yang
konsisten dan kredibel”.
(Bank Indonesia dalam Inflation Targeting Framework)
DI Indonesia sendiri, kebijakan suku bunga tersebut tentunya tidak
berdampak secara “langsung” terhadap tingkat Inflasi, karena sebelum
Tingkat bunga mempengaruhi Inflasi terlebih dahulu akan mempengaruhi
berbagai instrumen-instrumen lainnya, seperti Tingkat suku bunga SBI
(Sertifikat Bank Indonesia) yang kemudian akan mempengaruhi Money Market
Liquidity yang merupakan Indikator Suku Bunga PUAB (Pasar Uang Antar
Bank). Kemudian Akan berpengaruh terhadap Suku bunga, kredit, harga
aset, neraca perusahaan, nilai tukar, dan ekspektasi pasar.
Pengaruh-pengaruh tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi terhadap
permintaan domestik yang merupakan tekanan Inflasi dari dalam negeri dan
juga mempengaruhi tekanan permintaan terhadap uang asing sehingga
mengurangi tekanan Inflasi Asing, dana pada akhirnya karena
tekanan-tekanan tersebut bisa berkurang maka berakibat pada penurunan
tingkat Inflasi.
.png)
Gambar Pengaruh Bi Rate Terhadap Inflasi
Sumber:
http://pengertian-pengertian-info.blogspot.com/2015/09/pengertian-inflasi-menurut-para-ahli.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar